lalu bebatuan itu merintih. sejak kemarin matahari memukul-mukulkan wajahnya di bebatuan. di sungai yang mengalirkan darahnya kubaca keperihan dunia: aku tak tahu di mana lagi kusimpan kesumat ini? begitu jauh aku terdampar. di pulau yang tak lagi mengenalku bahkan aku makin asing pada pesta kematianku yang bakal tiba ingin kumasuk lebih dalam untuk mengaduk-aduk udara yang beku! Tuhan, di dunia-Mu yang semarak ini kenapa aku seperti tak mencium aroma manusia? lalu bebatuan itu merintih. matahari memandang garang di ujung jalan yang akan memisahkan dunia ini dengan lain dunia. aku tak lagi paham dengan suara merdu dan rintihmu. ketika ranjangku bertengkar dengan maut di malam sunyi itu inilah perjalanan panjang bagi bebatuan. setelah hari-hari ditikam sejuta pisau waktu. tak ada lagi sesal dan harapan udara telah membawa senyum dan tangis pelayat ke dalam doa yang beterbangan lalu bebatuan itu merintih. tak ada lagi senyum yang dinyanyikan sungai, kecuali taman menjelma tiba-tiba