kembali aku membaca buku yang halamannya berkisah tentang keluhan para dewa – dewa penyair yang menenun kata-kata kertas-kertas gelisah huruf-huruf bertuah membakar sejarah antara kerumpilan kehidupan
kembali aku membaca diri, seribu kecewa berpusara di dada bercengkrama dengan perih di bahu kananku, semestinya kubalut luka ini dengan kain yang merindukan anyir darah darah perawan yang hidup ditahun tujuh puluhan
kembali aku membaca kota, panorama memaksa sebuah belati untuk menghujam ribuan sepanduk dan retorika buah dari manusia yang gemar berepolitisi
adalah sebuah paksaan ketika aku harus berlari menju puncak gunung memikul senjata dan ribuan amunisi lalu menembaki langit, bulan, bintang dan matahari